PENGERTIAN
PENGUKURAN, PENILAIAN DAN PENDIDIKAN SERTA KONSEP DASAR HUKUM PENILAIAN
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Model
Penilaian Kelas”
Dosen
Pengampu:
Drs.Ju’subaidi,
M. Ag.
Disusun
oleh:
Muhammad
Taufiqur Rahman 210311146
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
latar belakang
Salah satu tujuan pendidikan nasional yang
tercantum dalam undang-undang sisdiknas nomor 20 Tahun 2003 (bab II; pasal 3)
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak
mulia. Kutipan lengkap pasal tersebut seperti ini
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Pendidikan akhlak adalah pendidikan budi
pekerti, sopan santun, tata krama, adab, moral, atau etika.[2]
Walaupun arti beberapa terminologi kadang kala dibedakan, tapi pada akhirnya
semua terminologi sama berisi tentang konsep baik dan buruk.Dalam Islam jelas
sekali, pendidikan budi pekerti ini menempati posisi penting, bahkan pahala
bagi yang melakukan budi pekerti yang baik, selain tentu saja ketaqwaan, adalah
syurga, seperti yang disebutkan oleh hadis di atas.
1.2
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian ta’dib?
2.
Apa tujuan konsep ta’dib?
2.
Apa implikasi ta’dib untuk pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ta’dib
Secara etimologi, ta’dib-bentuk masdar
dari kata kerja addaba-yuaddibu-ta’diban-diterjemahkan menjadi
pendidikan sopan santun atau adab[3].
Dari sisi etimologi ini, kita bisa memahami bahwa ta’dib itu berkenaan
dengan budi pekerti, moral, dan etika. Dalam Islam, budi pekerti, moral, dan
etika itu “satu meja” dengan akhlak.
Menurut terminologi, ta’dib diartikan
sebagai proses mendidik yang ditujukan kepada pembinaan budi pekerti pelajar
dan berujung pada proses penyempurnaan akhlak sebagaimana Rasulullah sabdakan
dalam sebuah hadis, yang berbunyi, “sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan keluhuran budi pekerti.”
Kata ta’dib yang berarti pendidikan atau
mendidik ini bisa dilacak dalam hadis yang berbunyi: “Addabani rabbi
fa’ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik
pendidikanku)[4].
Dengan jelas hadis ini menyebutkan kata ta’dib atau turunannya (addibni)
yang diartikan sebagai pendidikan atau mendidik.
Arti lebih luas tentang ta’dib ini
dijelaskan oleh Sayyed Muhammad an-Naquib al-Attas. Menurutnya, kata ta’dib
adalah:
Pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan. [5]
Dari arti ini, ta’dib mencakup
unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan (tarbiyah).
Oleh karena itu menurutnya, kita tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan
Islam sebagai integrasi dari tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Hal
ini disebabkan karena ta’dib telah mewakili konsep pendidikan Islam. Ia
adalah istilah yang paling tepat untuk menunjukkan arti pendidikan Islam.[6]
Penjelasan al-Attas ini menegaskan bahwa ta’dib
ini meliputi semua konsep pendidikan dalam Islam, termasuk konsep ta’lim
dan tarbiyyah yang selama ini kedua konsep ini sering dibedakan dengan
konsep ta’dib.
Sebagai usaha pembentukan tata krama, Amatullah
Armstorng dalam buku “Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi): The Mystic
Language of Islam,” menjelaskan bahwa ta’dib terbagi empat:
(1) ta’dib adab al-haq, pendidikan tata
karma spiritual dalam kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud
kebenaran, yang didalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan
yang dengannya segala sesuatu diciptakan; (2) ta’dib adab al-khidmah,
pendidikan tata karma spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang hamba,
manusia harus mengabdi kepada sang Raja (Malik) dengan menempuh tata karma yang
pantas; (3) ta’dib adab al-syariah, pendidikan tata karma spiritual
dalam syariah, yang tatacaranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu.
Segala pemenuhan syariah Tuhan akan berimplikasi pada tata karma yang mulia;
(4) ta’dib adab al-shuhbah, pendidikan tata karma spiritual dalam
persahabatan, berupa saling menghormati dan berprilaku mulia di antara sesama.[7]
Mengapa manusia harus memahami konsep ta’dib
dan mengamalkan nilai-nilai akhlak yang baik? Pada dasarnya, manusia
makhluk yang bermoral atau beradab, sebagaimana ia diciptakan dengan potensi
untuk berbuat baik. Manusia dianggap bermoral karena ia mempunyai akal,
sementara binatang tidak bermoral karena binatang tidak mempunyai akal; ia
hanya mempunyai naluri saja.
Konsep ta’dib bisa dilihat dalam
al-Quran surat Luqman ayat 13 sampai 19. Dan Ayat 21 Surat al-Ahzab juga
berbicara tentang ta’dib, terutama akhlak yang dicontohkan oleh Nabi dan
harus diikuti oleh umat. Ayat berbunyi:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Ayat ini mempertegas bahwa akhlak Nabi harus
dijadikan teladan karena akhlak Nabi adalah al-Quran. Dalam persfektif
pendidikan, seorang pelajar harus mengikuti akhlak Nabi ini sehingga ia tumbuh
menjadi pelajar yang berakhlak mulia.
Konsep ta’dib dalam hadis bisa dilacak
dari hadis yang salah satunya telah saya sebutkan sebelumnya, yaitu “Yang
terbanyak memasukkan ke surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti
luhur”, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, dan “Tuhanku
telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku”.
Hadis yang artinya “Yang terbanyak memasukkan
ke surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti luhur” menjelaskan bahwa
pendidikan budi pekerti ini bersanding dengan konsep taqwa. Artinya, pendidikan
budi pekerti ini menjadi bagian dari taqwa dan menempati posisi penting dalam
moralitas keagamaan.
Hadis kedua yang artinya “Aku diutus untuk
menyempurnakan budi pekerti yang luhur” menunjukan pentingnya budi pekerti ini
dalam kehidupan sehingga Rasulullah S.A.W. sengaja diutus untuk “membereskan”
akhlak ini. Pernyataan rasul ini mempertegas pentingnya pendidikan budi pekerti
ini untuk membangun umat yang beradab.
Hadis ketiga yang artinya “Tuhanku telah
mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku” memperlihatkan bahwa
Rasulullah adalah “murid” Allah S.W.T. Allah langsung mendidik Nabi tentang
adab, sehingga rasul tumbuh menjadi manusia yang beradab.
2.2
Tujuan konsep ta’dib
Menurut Imam al-Ghazali tujuan pedidikan Islam adalah mencapai kedekatan
diri kepada Allah Swt, guna mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Namun, Abdul
Fattah Jalal, tujuan pendidikan Islam “mempersiapkan manusia yang ‘abid yang
menghambakan dirinya kepada Allah Swt. Ada juga yang
berpendapat tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal tersebut memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.[8] Mengandung
keinginan untuk mewujudkan manusia yang sempurna (insan kamil) yang
dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas
kehambaan, kekhalifaan, dan pewaris nabi. Dari beberapa tujuan pendidikan
diatas ada kemiripan dengan pendapat al-Attas yaitu;
The purpose of seeking
knowledge in Islam is to inculcate goodness in man and individual self. The end
of uducation in Islam is to produce a
good man, and not---as in the case of westren civilization--- to produce a good
man, and citizen. By ‘good’ in the concept of good man is meant precisely the
man of adab in the sence here explained as encompassing the spiritual
and material life of man.[9]
2.3
Implikasi Ta’dib Terhadap Pendidikan Islam
Bagaimana implikasi hadis terhadap pendidikan
Islam? Jawabanya konsep ta’dib sangat mempengaruhi konsep pendidikan
Islam, bahkan konsep ta’dib ini merupakan esensi pendidikan Islam. Hal ini bisa
dilihat dari pendapat Nurcholis Madjid. Menurutnya, pendidikan islam adalah
pendidikan untuk pertumbuhan total manusia, yaitu ditujukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul karimah).[10]
Jadi, menurut beliau pendidikan Islam pada
akhrinya ditujukan kepada penyempurnaan keluhuran budi pekerti. Oleh karena
itu, hadis yang menyatakan bahwa“sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk
menyempurnakan berbagai keluhuran budi” menunjukan kedudukan budi pekerti dalam
pendidikan Islam.
Syekh Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan
bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia yang baik. Oleh karena
itulah makanya orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam
didefinisikan al-Attas sebagai orang yang beradab. Ia menulis:“Orang yang baik
itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya akan tanggungjawab dirinya kepada
Tuhan yang Haq, yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sendiri
dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya.”
Ia juga mengatakan bahwa orang yang terpelajar
adalah orang baik, yaitu orang yang beradab adab dalam artian yang menyeluruh,
yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha
menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.’
BAB III
KESIMPULAN
Ta’dib berkenaan
dengan budi pekerti, sopan santun, akhlak, moral, dan etika. Dalam konsep
pendidikan, ta’dib ini dipahami sebagai pendidikan adab atau pendidikan
akhlak. Namun ta’dib juga memuat juga konsep ta’lim dan tarbiyyah.
Tujuan pendidikan adab ini supaya pelajar tumbuh menjadi manusia yang beradab.
Konsep ta’dib ini diabadikan dalam
al-Quran, diantaranya Surat Luqman ayat 13-19 dan Surat al-Ahzab ayat 21 dan
beberapa hadis Nabi juga mengabadikan konsep ta’dib ini. Ayat-ayat
al-Quran dan hadis ini menegaskan bahwa konsep ta’dib menjadi bagian
yang sangat peting dalam Islam.
Implikasi ta’dib terhadap pendidikan
Islam adalah bahwa konsep ta’dib ini menjadi esensi pendidikan Islam.
Implikasi tesebut mewujud dalam konsep kecerdasan emosional dan spiritual yang
harus dimiliki oleh para pelajar.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Predana
Media Grouf,
2000), 63.
al-Attas. The Concept of
Education in Islam; A Framework for an
Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC, 1999.
Fajar,
Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia. 1999.
Mujib,
Abdul dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media group, 2008.
Ngator, Zaenul. Ta`Lim,Ta`Dib, Dan Tarbiyah.
19 maret 2013. Lihat di http://mimbarbaiturrahman.blogspot.com/2009.
Putra
Daulay, Haidar. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Yunus,
Mahmud. Qamus. Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1990.
http://cecengsalamudin.
Wordpress.com
[1] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2007), 215-216.
[4] Abdul Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media group., 2008), 20.
[5] Ibid.
[6] Zaenul Ngator, Ta`Lim,Ta`Dib, Dan Tarbiyah,
19 maret 2013. Lihat di http://mimbarbaiturrahman.blogspot.com/2009
[7] http://cecengsalamudin.
Wordpress.com diakses pada tanggal 20 maret 2013
[9] al-Attas, The Concept of Education in Islam; A Framework for an Islamic
Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 22.