KOREKSI KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
وَقَدْ
أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ
شَوَاهِدُ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ
Dan sungguh kedua (orang tuanya)
demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts
sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]
Jelas, yang demikian itu
bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya
seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa
sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di
Neraka”.[5]
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia
kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga
orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah
berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah
kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim
Alaihissalam dan yang lainnya.”[6]
Semua hadits yang menjelaskan
tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan
secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli
hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin,
al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi,
at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari
yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi
rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz
dan para ulama peneliti hadîts.[8]
Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
مَرْحَبًا
يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا
Selamat datang, selamat datang,
selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.
Bukankah ucapan selamat datang hanya
bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka
terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang
pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan
bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan
Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir
di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas
nampak bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun
sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.
يَا
نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
Wahai Nabi salam sejahtera atasmu,
wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.
Para pembela Barzanji seperti
penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu
adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri,
karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita.
Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap
kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus,
maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu
Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri.
Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang
jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu
berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak
dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]
Ini adalah qiyâs yang sangat rancu
dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik
saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara
seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali
dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang
tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan
dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan
perkara bid’ah. Pengagungan Nabi terwujud dengan cara menaatinya, Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan perintahnya, menjauhi
larangannya, dan mencintainya.
Melakukan amalan bid’ah, khurafat,
dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.
Manusia yang paling besar
pengagungannya kepada Nabi Shallallahu adalah para sahabat Radhiyallahu ‘anhum
-semoga ‘alaihi wa sallam
Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ûd kepada kaum
Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja
besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra
dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan
oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengagungkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan
seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah
dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera
melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka
saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan
suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud
pengagungan mereka”.[10]
Bentuk pengagungan para sahabat
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa di atas sangat besar. Namun, mereka tidak
pernah mengadakan sallam acara maulid
dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan,
niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulîd tersebut
berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,’Berdirilah kalian
untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini
tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi
rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk
berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan[12].
Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits
tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu ‘anhum agar berdiri dalam rangka
membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu ‘anhu turun dari keledainya, karena dia
sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya
secara berlebihan[13].
Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
فِيْكَ
قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ
Padamu sungguh aku telah berbaik
sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Sikap berlebihan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan
menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan
memohon kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan
tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu
tauhîd. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan
terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sakit yang membawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kematian, beliau
bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum
Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba,
maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.[14]
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani
menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam
peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa
kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada
selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan
peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat
berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat
atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam
menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam. Bahkan,
ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang
terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan
perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan
menggelincirkanmu”.[16]
Termasuk perbuatan yang berlebihan
dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersumpah
dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk
pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa bersumpah hendaklah
bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia
diam”.[17]
Cukuplah dengan hadits tentang
larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi
setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam
ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji
menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla :
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. [al-Ahzâb/
33:56]
Ayat ini yang mereka jadikan sebagai
dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah
kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa
dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bersalawat
atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim
meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan terhalang
dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan
akhirat, yaitu:
1). Terkena doa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh
celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak
bersalawat atasku”.[18]
2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” [Al-Ahzâb/ 33:43]
2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” [Al-Ahzâb/ 33:43]
Bahkan, membaca shalawat menjadi
sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir.
Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tenteram”. (Ar-Ra’du/ 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat
secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang
dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia
dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari
Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun
karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam
peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas
merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.
Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
وَماَ
زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ
أَرْدَانٍ
Nur Mustafa (Muhammad) terus
berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.
Bandingkanlah dengan perkataan kaum
zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum
diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya
tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba
ilmu dari cahaya tersebut.
Demikian juga perkataan Ibnul Arabi
Atthâ’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir
mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yaitu penutup para Nabi”.[2]
Perlu kita diketahui bahwa ghuluw
itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi.
Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat
sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana
perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada
Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam ,
seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka.
Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla
dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan
keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong
mereka.
Demikian uraian sekilas tentang
sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat.[23]
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.
No comments:
Post a Comment