Pe-review: Muhammad Taufiqur Rahman
Mahasiswa Pasca UNMUH PONOROGO
A.
GAMBARAN/ KONSEP
Immanuel Kant adalah seorang anak dari pembuat
pelana kuda yang lahir di Konigsberg (prusia timur) pada tanggal 22 april 1724.
Dia tinggal di kota ini selama hidupnya
hingga meninggal pada usia 80-an (1804). Keluarganya menganut kristiani yang
shaleh.[1]
Keyakinan agamanya itu sekaligus merupakan latar belakang yang cukup penting
bagi pemikiran filosofinya, terutama masalah etika.
Immauel Kant (1724-1804) adalah seorang filosof
Jerman yang berhasil menyatukan pandangan Rasionalisme dan Empirisme lewat
pemikirannya yang terkenal dengan sintesis a priori. menurutnya
pengetahuan tidak murni berasal dari akal, sebagaimana yang diungkapkan kaum
rasionalis, namun pengetahuan juga tidak selalu berdasarkan pengalaman
inderawi. Filsafatnya juga dikenal dengan kritisisme yang dilawankan
dengan filsafat sebelumnya, yakni dogmatisme. Tindakan kritis beliau
yang sangat luar biasa sangat memberikan sumbangan besar bagi dunia
pengetahuan.
Untuk memahami konsep pemikiran Immanuel Kant
dalam etika, alangkah baiknya jika kita juga sudah mengetahui metode yang di
pakai Kant, yakni murni a priori. a priori berarti sebelum pengalaman. Dalam
artian ia masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman atau pemikiran
orang lain baik berupa nilai budaya atau adat istiadat suatu masyarakat. Jadi
metode Kant adalah murni deduktif, tanpa memiliki perhatian terhadap
pengalaman empiris. sehingga dalam persoalan etika ini memnurutnya
prinsip-prinsip moralitas tidak tergantung pada pengalaman sama sekali.
Melainkan benar-benar berasal dari kehendak dalam diri, dalam hal ini disebut “
authonomi kehendak”. Jadi kehendak dari dalam diri itulah yang nantinya
memberikan hukum, bukan karena faktor dari luar. Dan ia adalah satu-satunya
sumber moralitas.[2]
Kant juga membagi akal menjadi dua, yakni akal
teoritis (rasio murni)dan akal praktis (rasio praktis). Akal
teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan
tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu
tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan
sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Bukan berarti keduanya
seakan-akan berdiri sendiri dan tidak mempengaruhi, justru pemikiran
Immanuel Kant dalam akal teoritis inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi
pandangannya dalam etika, misalnya saja dalam teori sintesis a priorinya.
Etika yang digagas Immanuel Kant berbeda sekali
dengan yang digagas oleh filosof sebelumnya. Etika Kant secara hakiki merupakan
etika kewajiban yang tidak menuntut adanya kebahagiaan atau faktor-faktor emosi
lainnya dari luar. Kewajiban yang murni berasal dari kehendak kita untuk
melakukannya tanpa adanya pemaksaan. Selain itu, etika Kant tidak mengharuskan
adanya konsekuensi sebagaimana dalam utilitarianisme, justru Kant lebih
mengutamakan adanya konsistensi. Sebagaimana yang ia katakan “
consistency is the highest obligation of a philosopher and yet the most rarely
found”. Kant juga percaya bahwa moral tidak dapat di sandarkan kepada kebahagiaan.
Kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi yang terjadi jika kita mengandalkan
tindakan kita semata-mata hanya untuk kebahagiaan.
B.
PRINSIP DAN LANDASAN
Dalam etika Immanuel ada beberapa hal perlu diperhatikan,
diantaranya adalah:[3]
1.
Prinsip good will dan Konsep kewajiban (duty)
2.
Imperative hipotesis dan kategoris
3. Prinsip
subjektif/ maxim
1. Good
Will (kehendak baik) & kewajiban (duty)
Moralitas menurut Kant tidak menyangkut hal
yang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama
sekali. Kebaikan moral itu baik dari semua sisi, tanpa ada pembatasan sama
sekali. Secara mutlak kebaikkan itu tetaplah baik, meskipun berkonsekuensi
merugikan orang lain. Yang baik tanpa adanya batasan sama sekali menurutnya
hanyalah satu, yakni kehendak baik (good will). Kehendak itu selalu baik dan
dalam kebaikkannya tidak tergantung pada sesuatu di luar.
Kehendak baik yang dimaksud Kant adalah
kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty). Manusia bukanlah roh
murni, ia juga mahluk alami yang memiliki dorongan dan terikan hawa nafsu,
emosi, kecendrungan dan dorongan-dorongan batin. karena itu manusia tidak
hanya tertarik untuk melakukan perbuatan baik, namun ia juga tertarik melakukan
perbuatan jahat. Itulah sebabnya akal budi praktis menyatakan diri dalam bentuk
kewajiban. Seseorang dikatakan berkehandak baik apabila ia berkehendak untuk
melakukan kewajiban.
Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban,
yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati/ belas kasihan dan karena
kewajiban. Menurut Kant hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul
bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan
itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada
kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban
tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban
itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang
dimaksud dengan moralitas menurut Kant.[4] Selain itu tindakan moral juga harus bersifat
sintetik a priori. jujur itu benar ; jujur itu a priori, diketahui oleh
semua orang dalam akal murni /pure reason , sedangkan benar itu sintesis,
karena konsep benar tidak terkandung di dalam konsep jujur. Oleh karena itu ia
termasuk sintesis a priori.
Dalam contoh kasus, misalnya saja ketika sedang
berlangsung ujian di kelas, ada temanmu yang pintar dan ia ingin membantumu
menyelesaikan soal-soal pertanyaan dengan memberikan kertas jawaban. Jika kamu
menolak atau mengabaikannya, berarti kamu melakukan tindakan yang benar/ right.
Meskipun mungkin saja kamu menolak menerima jawaban itu karena takut ketahuan
guru. Mencontek adalah perbutan buruk yang selamanya buruk, walaupun disatu
sisi ia menguntungkan karena bisa membuat nilaimu tinggi. Kehendak baik lah
yang akan mendorong kita untuk mengerjakan soal ujian sendiri, tanpa
bantuan contekan dari orang lain.
Di awal dijelaskan bahwa Immanuel Kant
bukanlah seorang consequentalist , dalam artian ia tidak melihat
konsekuensi dari suatu tindakan, ia adalah seorang yang konsisten bukan
konsekuen. Untuk mengukur moralitas seseorang , kita tidak boleh melihat pada
hasil perbuatannya, karena belum tentu hasil yang baik menunjukkan bahwa
perbuatan itu baik, sebagaimana yang terjadi pada kasus mencontek diatas,
meskipun nantinya ia mendapat nilai yang baik padahal di dapatkan dari
perbuatan yang tidak baik, yakni mencontek. Oleh karena itu menurut Kant, yang
membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam artian moral bukanlah hasilnya,
melainkan karena kehendak baik yang menuntun untuk melakukan kewajiban.
2.
Imperatif Hipotesis dan Kategori
Kant
membedakan antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis sebagai dua
perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak
bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif
hipotesis selalu mengikutsertakan struktur “jika.. maka.. “. Kant menganggap
imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada
akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia
bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia
hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris
yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah” (du
sollst!). Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji
harus ditepai, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya.
Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri)
sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri
ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).
Imperatif
adalah suatu bentuk perintah. Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan
sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen).
Perintah dalalm arti ini adalah rasional, bukan karena paksaaan. Perintah yang
dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan
paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat.[5]
Ada tiga macam perintah menurut Kant :
1.
Keharusan keterampilan yang bersifat teknis,
misalnya jika ingin menggunakan kendaraan, entah mobil atau motor, diharuskan
mengisi bensin terlebih dahulu
2.
Keharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya
jika ingin mengurangi polusi udara, gunakanlah alat transportasi yang bebas
polusi, seperti sepeda.
3.
Keharusan kategoris.misalnya selalu berkata
jujur, meskipun dalam keadaan terdesak.
Keharusan
1 dan 2 adalah keharusan yang tidak mutlak, dalam artikan jika anda ingin
menghendaki x maka saya harus melakukan y. Jadi kedua keharusan itu dilakukan
hanya mempertimbangkan resikonya saja, bukan karena murni kewajiban itu
sendiri. Inilah yang disebut kant dengan “imperatif hipotesis”. Sedangkan
keharusan yang ketiga adalah keharusan yang mutlak, tanpa syarat. Imperatif ini
mengharuskan kita untuk melakukan apa yang wajib tanpa syarat dan bersifat
niscaya yang disebut juga “imperatif ketegoris”.
Salah
satu bentuk imperatif kategoris yang paling sederhana adalah “ betindaklah
secara moral !” itulah perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya. Disitu
terlihat bahwa moralitas tidak tergantung pada berbagai konsekuensi perbuatan,
melainkan berlaku dimana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa
terkecuali sama sekali. Adapun rumusan imperatif kategoris Kant yang paling
terkenal adalah “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat
sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”[6]
3. Maxim
(prinsip subjektif)
Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak,
sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan konkret.
Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah
sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan
tindakan konkret. Dimanapun kita berada itu tidak terlepas dari suatu tindakan.
Jenis tindakan apa yang kita pilih disesuaikan dengan keadaan. Kita melakukan
tindakan karena alasan. Ada yang ingin memutuskan suatu perkara karena memang ingin
membela kepentingan pribadinya, adapula yang tetap memikirkan kepentingan orang
lain, jadi maksim itu dapat baik dan juga tidak baik.
Oleh karena itu untuk mengetahui
prinsip-prinsip mana yang bermoral dan mana yang tidak, kembali lagi ke dalam imperatif
kategoris. Rumusan itu mengatakan bahwa kita bertindak sesuai dengan
kewajiban yang sesuai dengan kehendak kita, namun hal itu tidak hanya
berlaku bagi kita melainkan berlaku bagi semua orang , semua mahluk rasional
yang ada di dunia. imperatif ini disebut juga prinsip penguniversalisalian. Ia
adalah suatu prinsip yang mana suatu tindakan dapat dinyatakan benar jika ia
memang dapat diberlakukan kepada semua orang.
Kant merumuskan tiga macam imperatif kategoris:
- Hukum universal
Mengingat kedaan realitas menurut hukum umum
dalam pengertian formal Kant adalah sama dengan alam, maka imperatif kategoris
juga berbunyi “ bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat,
melalui kehendakmu, menjdi hukum alam umum”[7]
2.
Manusia merupakan tujuan dirinya sendiri
Imperatif kategorisnya berubah bentuk menjadi “
bertindaklah sedemikian rupa, sehingga engkau memakai umat manusia, baik dalam
pribadimu, maupun dalam pribadi setiap orang lain, selalu juga sebagai tujuan,
tidak pernah hanya sebagai sarana.”
Dalam hal ini dalam kehidupan sehari-hari kita
juga pastinya berinteraksi dengan orang lain (hablumminannaas) yang
mana kita harus perlakukan manusia dengan baik.
3.
Berbuat seperti dalam kerajaan Tuhan
Imperatif kategorisnya berbunyi “ semua maksim
dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan
yang mungkin, satu kerajaan alam.”
Moralitas
menurut Kant merupakan implikasi dari tiga Postulat antara lain; Kebebasan
kehendak manusia, immortalitas jiwa dan Eksistensi Allah. Kehendak bebas
manusia merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi
langsung dalam kesadaran moral. Immortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan
tertinggi manusia tidak munggkin dicapai didunia tapi dikehidupan nanti. Dan
Keberadaan Allah yang menjamin bahwa pelaksanaan kewajiban moral manusia akan
merasakan ganjarannya dikemudian hari berupa kebahagiaan sejati. Ketiganya itu
disebut Kant sebagai “Postulat” yaitu suatu kenyataan yang sungguh ada dan
harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil
penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia.
C.
KRITIK TERHADAP ETIKA KANT
Kritik dalam teori etika kant, saya rumuskan
kedalam kelebihan dan kekurangan. Jika dikatakan kelebihan, berati dalam
hal ini saya setuju dengan beberapa prinsip yang terdapat di dalam etika Kant,
dan dikatakan kelemahan jika menurut saya di dalamnya ada argumen kant yang
kurang saya setujui.
kelebihan
·
Saya setuju dengan prinsip imperatif
kategoris Kant yang mengatakan : “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip
(maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”. hal
itu sesuai dengan apa yang di ajarkan dalam agama.yaitu surat al Isro’ ayat 7.
÷bÎ) óOçFY|¡ômr& óOçFY|¡ômr& ö/ä3Å¡àÿRL{ ( ÷bÎ)ur öNè?ù'yr& $ygn=sù 4
Bertindaklah
sebagaimana kau juga ingin diperlakukan seperti itu. Janganlah kamu berbohong
kepada orang lain jika kamu sendiri tidak ingin dibohongi orang lain. Sungguh
prinsip ini sangat bernilai etik dan logis. Jika saja manusia menyadari akan
prinsip ini mungkin tindakan kriminallitas dapat di minimalisasi atau bahkan
tidak ada. Karena pada prinsipnya tidak ada orang yang mau dirugikan. Jika saja
para pencuri menyadari akan hal ini, mungkin saja ia tidak akan melakukan
tindak pencurian, karena dia sendiri juga tidak ingin barang-barangnya di curi
oleh orang lain.
·
Saya juga setuju dengan prinsip good will yang
dilandasi kewajiban yang mengatakan bertindaklah sesuai dengan kewajiban
(duty). Prinsip ini sangat bernilai tinggi jika saja dapat diterapkan dalam
beribadah. Al-Bayyinah ayat 5 dan baqoroh ayat 216
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
|=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãA$tFÉ)ø9$# uqèdur ×nöä. öNä3©9 ( #Ó|¤tãur br& (#qèdtõ3s? $\«øx© uqèdur ×öyz öNà6©9 ( #Ó|¤tãur br& (#q6Åsè? $\«øx© uqèdur @° öNä3©9 3 ª!$#ur ãNn=÷èt óOçFRr&ur w cqßJn=÷ès? ÇËÊÏÈ
Semua orang
dapat menjalani ibadah karena ibadah itu memang baik pada dirinya. Ia tidak
lagi sholat karena semata-mata kewajiban yang di haruskan agama, tapi ia sholat
karena ada otonomi kehendak dari dirinya sendiri yang menganggap sholat
itu baik hingga ia tergerak untuk melaksanakannya, tanpa keterpaksaan. Semua
perbuatan baik dilakukan tanpa beban, tanpa mengharapkan konsekuensi pahala
yang melimpah. Menurut saya inilah kelebihan dari etika Kant, sehingga bisa
membuat semua orang melakukan tindakan dengan ikhlas.
Kekurangan
·
Dalam hal ini saya kurang setuju dengan
penolakan Kant terhadap konsekuensi perbuatan. menurut saya, perlu juga kita
memperhatikan konsekuensi dari perbuatan. Jujur memang baik, tapi ia juga harus
disesuaikan pada tempatnya. Dalam agama islam, nyawa seseorang harus lebih di
utamakan, bahkan kita dibolehkan memakan daging babi yang asalnya haram jika
dalam kondisi terdesak, tak ada makanan lain selain daging babi jika saya tidak
makan daging ini maka saya akan mati. Begitu pula dalam hal ini kita boleh saya
tidak berkata jujur dalam keadaan terdesak. Misalnya saja kita berkata
bohong demi keselamatan nyawa orangtua kita, menurut saya itu dibolehkan,
sekali lagi karena saya merujuk kepada keselamatan nyawa seseorang yang
memiliki nilai tertinggi daripda tindak berbohong itu sendiri. Jadi inilah
kelemahan dari etika kant, kebenaran tidak selamanya absolut, tapi ia bisa saja
relatif jika dihadapkan pada keadaan yang terdesak. Seperti ceritanya bilal
ketika bilal ingin dibunuh, bilal berbohong agar tidak dibunuh dengan
mengucapkan kata tuhan kaum kafir secara lisan saja seakan-akan bilal menjadi
murtad dihadapan kaum kafir namun sejatinya jauh dalam lubuk hatinya sangat
benci mengucapkan kalimat tersebut dan masih beriman kepada ajaran Nabinya.
[1] Syarif
Hidayatulloh, Immanuel Kant, https://syarifhidayatu.wordpress.com diakses
pada tanggal 25 januari 2016
[2] Atang
Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), 283
[4] Franz
Magnis –Suseno, “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19”. Yogyakarta,
1997), 143-144
[5] Atang
Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), 287
[6] Franz
Magnis –Suseno, “13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19”. Yogyakarta,
1997), 147
[7] Franz Von
Magnis, Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral
(Jogjakarta: Kanisius, 1979), 55.
No comments:
Post a Comment